Selasa, 16 Juni 2015

piqh islam is honrable

Terminology of scholars
For fiqh, there is again a difference in terminology, similar to that mentioned about the Shari`ah. The early scholars of Islam would use fiqh to mean the knowledge and the understanding of the guidance, the rulings, and the way of life Allah prescribed for us. In other words, fiqh is our understanding and knowledge of Allah's Shari`ah.  Imam Abu Hanifa, for example, had a book about `Aqidah (belief) and called it “Al-Fiqh Al-Akbar,” (The Great Fiqh).The scholars who came later confined the usage of the word fiqh to the knowledge and understanding of the guidance, the rulings and the way of life regarding the actions only, excluding the areas of belief and moral character. This terminology is represented by the famous definition that fiqh is “the knowledge of the Shari`ahrulings which are related to actions from its detailed sources.” (Mohamed Abu Zahrah, Usul Al-Fiqh)
Whoever makes ijtihadand arrived at a wrong ruling will be rewarded.
To explain those definitions further, the Shari`ah is Allah's guidance in His Book (the Qur'an) and the tradition of His Messenger (the Sunnah), wahile fiqh is our knowledge of these rulings after exerting all effort to extract them.  Scholars arrive at those rulings of fiqh through a process calledijtihad, a scientific process to reach the Shari`ah rulings from its sources.  It literally means exerting all possible effort.  Scholars may make mistakes, and for that they are rewarded for their effort and are excused only if they exert all possible effort. When scholars arrive at the right ruling, their reward is doubled.  The Messenger (peace and blessings be upon him) said, “Whoever makes ijtihad and arrived at a wrong ruling will be rewarded. Whoever makes ijtihad and arrived at the correct ruling will be rewarded twice.” (Bukhari and others)

Fiqh: An honorable piece of knowledge
Fiqh is a very honorable piece of knowledge.  It is the knowledge and the understanding of Shari`ah, the guidance sent by Allah (peace and blessings be upon him) to mankind. This knowledge is essential for our success in this life and the hereafter.  Those who develop this knowledge are as honorable as the knowledge itself, and we are indebted to them for making the effort to learn and teach Allah's guidance to His creation.  It is a serious job and one of the most rewarding.  Ibn Al-Qayyim describes the people of fiqh in an honorable, yet frightening, way.  He described them to be, “the signatories on behalf of the Lord of the worlds.” (Ibn Al-Qayyem, A’lam Al-Mowaq’in )
Hadn’t it been for the multiple reward Allah gives for those who take on this responsibility and the excuse - and the reward - they get if they make a mistake, no one would dare to shoulder such a responsibility or play such a role. Ibn Al-Qayyim talked about the scholars of fiqh in the introduction of his book mentioned above by saying, “... and if signing on behalf of kings is something that cannot be undermined and is a very  honorable role, how about signing on behalf of the Lord of the heavens and the earth?” He continued to say, “The one who assumes such a position should prepare for it, and should know the value of the responsibility he shoulders; he should declare the truth for Allah will guide him and support him... and he should know that he will be held accountable before Allah .”

mengenal piqh islam

Hukum Mendengarkan Lagu atau Musik dalam Islam

A. Pendahuluan.

Islam merupakan sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.

B. Dalil-Dalil.

  • Surah Luqman: (6):
    Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
  • Surah An-Najm: (59-61):
    “Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?”
     (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi)
  • Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
    Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).

C. Pendapat Ulama.

  • Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”
  • Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
  • Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
  • Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
  • Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.

D. Analisa.

Al-Quran tidak menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam (syariat).
Para ulama yang mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu. sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.Hal ini tentu dilarang.
Musik juga dapat menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan. Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk, maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu dengan lirik yang tidak mendidik.

E. Kesimpulan.

  • Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
  • Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.
  • hukum mendengarkan musik
  • hukum musik dalam islam
  • musik dalam Islam